Kamis, 10 April 2008

upaya hukum biasa

Upaya Hukum Biasa

A. Banding

Pemeriksaan banding merupakan upaya yang dapat diminta oleh pihak yang berkepentingan, supaya putusan peradilan tingkat pertama diperiksa lagi dalam peradilan tingkat banding. Jadi secara yuridis formal,undang-undang memberi upaya kepada pihak yang berkepentingan untuk mengajukan permintaan pemeriksaan putusan peradilan tingkat pertama di peradilan tingkat banding.

Upaya banding yang secara formal dibenarkan undang-undang merupakan upaya hukum biasa, bukan upaya hukum luar biasa. Prosedur dan proses pemeriksaan tingkat banding adalah pemeriksaan yang secara umum dan konvensional dapat diajukan terhadap setiap putusan peradilan tingkat pertama tanpa kecuali, sepanjang hal itu diajukan terhadap putusan yang dapat dibanding seperti yang ditentukan Pasal 67 jo. Pasal 233 ayat(1) KUHAP.

Pasal 67 jo. Pasal 233 ayat(1) KUHAP, merupakan penjabaran Pasal 19 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 yang menegaskan terhadap semua putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak merupakan pembebasan dari tuduhan, dapat dimintakan banding oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Kemudian diperluas dengan Pasal 67 KUHAP bahwa putusan yang tak dapat diminta banding bukan hanya putusan bebas(vrijspraak) tapi juga putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum(onslag van rechts vervolging). Namun pada kedua undang-undang itu jelas tampak, upaya hukum banding merupakan upaya hukum biasa yang dapat dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan terhadap semua putusan Pengadilan Negeri sebagai instansi peradilan yang memutus pada tingkat pertama. Disinilah letak pengertian upaya hukum biasa, yakni “terhadap semua putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding”, sehingga permintaan dan pemeriksaan tingkat banding merupakan hal yang umum dan biasa. Dapat diajukan dan dilakukan terhadap semua putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap”putusan bebas” atau “lepas dari segala tuntutan hukum” serta “putusan acara cepat”.

Pada prinsipnya semua putusan akhir(final judgement) Pengadilan Negeri dapat diajukan permintaan banding. Akan tetapi ada pengecualian yang ditegaskan dalam Pasal 67 KUHAP, tidak semua putusan akhir pengadilan tinggi tingkat pertama dapat diminta banding. Adapun putusan akhir pengadilan tingkat pertama yang dapat diajukan pemeriksaan pada tingkat banding:

a. Putusan pemidanaan dalam acara biasa

Terhadap setiap putusan pemidanaan dalam acara biasa sekalipun sifat putusan pemidanaan itu berupa “percobaan” atau “pidana bersyarat” seperti yang diatur dalam Pasal 14a KUHP, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan banding.

b. Putusan pemidanaan dalam acara singkat

Hal ini serupa dengan putusan pemidanaan dalam acara biasa, terhadap setiap putusan pemidanaan dalam acara singkat, sekalipun pidana bersyarat, dapat dimintakan banding baik oleh terdakwa atau penuntut umum.

c. Putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima dalam acar biasa

dan singkat.

Seperti yang sudah diterangkan, dakwaan diajukan terhadap orang yang bukan pelaku tindak pidana atau jika dakwaan diajukan setelah lampau waktu dan sebagainya maka dalam hal seperti ini putusan pengadilan menyatakan dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima. Terhadap putusan seperti ini penuntut umum dapat mengajukan permintaan banding. Cuma harus diingat, pernyataan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima yang dapat diminta banding, jika pernyataan tersebut dituangkan dalam bentuk putusan akhir. Jika pernyataan pengadilan dituangkan dalam bentuk penetapan, tidak dapat dimintakan banding.

d. Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum

Terhadap setiap putusan yang dakwaan batal demi hukum baik dalam acara biasa maupun acara singkat, penuntut umum dapat mengajukan permintaan banding. Misalnya putusan pengadilan menyatakan dakwaan batal demi hukum karena dakwaan tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat 2 hurup b KUHAP, terhadap putusan ini dapat dimintakan banding

e. Putusan perampasan kemerdekaan dalam acara cepat

Sesuai dengan ketentuan Pasal 205 ayat(3) dan Pasal 214 ayat(8), terdakwa dapat mengajukan permintaan banding jika terhadapnya dijatuhkan putusan pidana perampasan kemerdekaan

f. Putusan praperadilan terhadap penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.

Setelah mengutarakan putusan yang dapat dibanding, maka ada putusan yang tidak dapat dibanding, berpedom pada pasal 67. Memang, baik terhadap putusan yang dapat dimintakan banding maupun yang tidak, pedoman umumnya adalah Pasal 67. Akan tetapi khusus dalam pembicaraan mengenai putusan yang tidak dapat diminta banding, maka akan menengok Pasal 67 lebih mendalam. Adapun putusan yang tidak dapat diminta banding:

a. Putusan bebas atau Vrijspraak(acquitted)

Dalam Pasal 191 ayat(1), apabila kesalahan terdakwa sesuai dengan perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Terhadap putusan bebas yang demikian tidak dapat diajukan permintaan banding.

b. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau putusan Onslag van Rechts Vervolging

Mengenai bentuk putusan lepas dari segala tuntutan hukum, diatur dalam Pasal 191 ayat(2), yakni apabila pengadilan berpendapat apa yang didakwakan terhadap terdakwa memang terbukti, akan tetapi perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana

c. Putusan acara cepat

Terhadap putusan acara cepat, baik perkara yang diperiksa dengan acara tindak pidana ringan maupun acara pelanggaran lalu lintas jalan, tidak dapat diminta banding, kecuali apabila putusan itu berupa pidana perampasan kemerdekaan.

Permohonan banding dapat ditolak. Panitera dilarang menerima dan sekaligus harus menolak permintaan banding yang tidak memenuhi syarat undang-undang adalah:

1) Diajukan terhadap putusan yang tidak dapat dibanding

Diajukan terhadap putusan yang tidak dapat diminta banding, merupakan permintaan yang tidak sah dan tidak memenuhi persyaratan undang-undang. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diperkenankan undang-undang untuk dimintakan banding yakni putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum dan putusan acara cepat.

2) Permintaan bandingdiajukan setelah tenggang waktu yang ditentukan berakhir.

Berdasarkan ketentuan Pasal 233 ayat(2), tenggang waktu mengajukan permintaan banding:

a. dalam waktu 7 hari sesudah putusan dijatuhkan

b. dalam waktu 7 hari setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir pada saat vputusan dijatuhkan.

Tata cara penolakan permintaan banding dilakukan panitera sebagai berikut:

1) Panitera membuat akta penolakan permohonan banding. Penolakan harus dituangkan panitera dalam bentuk surat akta penolakan permohonan banding, tidak cukup dilakukan dengan lisan

2) Akta penolakan ditandatangani oleh panitera dan pemohon

3) Serta diketahui dan ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Negeri

4) Berkas perkara tidak dikirim ke Pengadilan Tinggi

Dengan tata cara penolakan yang demikian ada buktinya dan sekaligus memberi kepastian hukum tentang penolakan serta merupakan upaya pembinaan tata administratif peradilan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.

Penerimaan permohonan banding dialukan atas alasan permintaan memenuhi persyaratan undang-undang. Permohonan banding yang memenuhi syarat dalam ketentuan Pasal 233 ayat(2) sebagai berikut:

1. Permohonan diajukan atau disampaikan kepada panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut.

Sekalipun permintaan banding diajuka ke Pengadilan Tinggi, namun permohonan dilakukan oleh pemohon melalui panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara, tidak dapat langsung diajukan ke Pengadilan Tinggi

2. Permohonan banding diajukan terhadap putusan yang dapat diminta banding

3. Permintaan diajukan dalam tenggang waktu yang ditentukan.

Yang berhak mengajukan permohonan banding yaitu

a. terdakwa, atau

b. orang yang khusus dikuasakan terdakwa, atau

c. penuntut umum, atau

d. terdakwa dengan penuntut umum sekaligus sama-sama mengajukan banding.

Arti memori banding adalah uraian atau risalah yang memuat tanggapan keberatan terhadap putusan yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama. Didalam memori banding itulah pemohon mengemukakan kelemahan dan ketidaktepatan penerapan atau penafsiran hukum yang terdapat dalam putusan. Demikian juga memori banding, mencoba memperlihatkan kekeliruan penilaian keadaan dan pembuktian yang menjadi dasar putusan yang dijatuhkan. Malahan dalam memori banding dapat dikemukakan hal baru atau fakta baru dan sekaligus memohon agar diadakan lagi pemeriksaan tambahan untuk memeriksa bukti atau fakta baru yang dikemukakan.

Sebaliknya atas memori banding yang diajukan pemohon banding, pihak yang lain dapat mengajukan kontra memori banding. Tujuan kontra memori banding berupa risalah yang memuat bantahan-bantahan terhadap isi memori banding,serta menekankan kembali kebenaran dan ketepatan putusan yang dijatuhkan. Disamping memori dan kontra memori banding, masih dapat lagi memori dan kontra memori itu disempurnakan dan disusul dengan tambahan memori atau tambahan kontra memori.


B. Kasasi

Pemeriksaan perkara pidana oleh Mahkamah Agung pada peradilan kasasi, mempergunakan ketentuan yang diatur dalam KUHAP sebagai hukum acara, seperti yang diatur dalam Bagian Kedua Bab XVII, mulai dari Pasal 244 sampai dengan Pasal 258. Selanjutnya, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 258, hukum acara kasasi yang diatur dalam KUHAP, bukan hanya berlaku sebagai hukum acara kasasi bagi lingkungan peradilan umum saja, tetapi berlaku juga bagi acara permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

Dalam Pasal 10 ayat(3) UU No. 14 Tahun 1970 telah menegaskan Mahkamah Agung merupakan peradilan tingkat terakhir( kasasi) bagi semua lingkungan peradilan. Atau dengan kata lain, Mahkamah Agung adalah peradilan kasasi bagi semua lingkungan peradilan. Dalam ketentuan Pasal 244 KUHAP menegaskan terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas. Jadi, terhadap semua putusan pidana pada tingkat terakhir selain daripada putusan Mahkamah Agung sendiri, dapat diajukan permintaan pemeriksaan kasasi baik oleh terdakwa atau penuntut umum. Tanpa kecuali dan tanpa didasarkan pada syarat serta keadaan tertentu, terhadap semua putusan perkara pidana yang diambil oleh pengadilan pada tingkat terakhir, dapat diajukan permintaan pemeriksaan kasasi oleh terdakwa oleh penuntut umum. Ini berarti, terdakwa dan atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasai kepada Mahkamah Agung terhadap semua putusan pidana yang diambil oleh pengadilan tingkat terakhir.

Upaya kasasi adalah hak yang diberikan kepada terdakwa maupun kepada penuntut umum. Tergantung kepada mereka untuk mempergunakan hak terrsebut. Seandainya mereka dapat menerima putusan yang dijatuhkan, dapat mengesampingkan hak itu, tetapi apabila keberatan atas putusan yang diambil, dapat mempergunakan hak untuk mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung.

Berbarengan dengan hak mengajukan permintaan kasasi yang diberikan undang-undang kepada terdakwa atau penuntut umum, dengan sendirinya hak itu menimbulkan kewajiban bagi pejabat pengadilan untuk menerima permintaan kasasi, tidak ada alasan untuk menolak. Apakah permohonan itu diterima atau ditolak, bukan wewenang Pengadilan Negeri untuk menilai, sepenuhnya menjadi wewenang Mahkamah Agung. Bahkan sekalipun permohonan kasasi diajukan telah melampaui tenggang waktu 14 hari seperti yang diatur dalam Pasal 245(1), Pengadilan Negeri tetap wajib menerima permohonan. Demikian juga seandainya permohonan kasasi tidak dibarengi dengan memori kasasi maupun terlambat menyampaikan memori kasasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 248, Pengadilan Negeri tetap menerima dan menyampaikan permohonan dan berkas perkara kasasi sebab yang berwenang sepenuhnya untuk menilai sah tidaknya permohonan kasasi hanya Mahkamah Agung.

Salah satu tujuan kasasi, memperbaiki dan meluruskan kesalahan penerapan hukum, agar hukum benar-benar diterapkan sebagaimana mestinya serta apakah cara mengadili perkara benar-benar dilakukan menurut ketentuan undang-undang. Disampng tindakan koreksi yang dilakukan Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi, adakalanya tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan hukum baru dalam bentuk yurisprudensi. Berdasarkan jabatan dan wewenang yang ada padanya dalam bentuk judge making law, sering Mahkamah Agung menciptakan hukum baru yang disebut ”hukum kasus” atau case law, guna mengisi kekosongan hukum, maupun dalam rangka menyejajarkan makna dan jiwa ketentuan undang-undang sesuai dengan elastisitas pertumbuhan kebutuhan lajunya perkembangan nilai dan kesadaran masyarakat. Apabila putusan kasai baik yang berupa koreksi atas kesalahan penerapan hukum maupun yang bersifat penciptaan hukuim baru telah mantap dan dijadikan pedoman bagi pengadilan dalam mengambil keputusan maka putusan Mahkamah Agung akan menjadi yurisprudensi tetap. Tujuan lain daripada pemeriksaan kasasi, bermaksud mewujudkan kesadaran keseragaman penerapan hukum atau unified legal frame work dan unified legal opinion. Dengan adanya putusan kasasi yang menciptakan yurisprudensi, akan mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak penerapan hukm, serta dengan adanya upaya hukum kasasi, dapat terhindarkan kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan oleh para hakim yang tergoda dalam memanfaatkan kebebasan kedudukan yang dimilikinya.

Putusan perkara pidana yang dapat diajukan permohonan pemeriksaan kasasi dalam Pasal 244 KUHAP yaitu

  1. semua putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan
  2. kecuali terhadap putusan
    1. Mahkamah Agung sendiri
    2. putusan bebas

Pasal 245 ayat(1) menegaskan permohonan kasasidisampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa.

Tenggang waktu mengajukan permohonan kasasi diatur dalam Pasal 245 ayat(1) KUHAP yang menegaskan:

1) permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera Pengadilan Negeri yang telah memutus perkara dalam tingkat pertama

2) permohonan diajukan dalam waktu 14 hari sesudah putusan pengadilan yang hendak dikasasi diberitahukan kepada terdakwa. Terlambat dari batas waktu 14 hari, mengakibatkan hak untuk mengajukan permohonan kasasi menjadi gugur.

Apabila permohonan kasasi diajukan terlambat dari tenggang waktu 14 hari, dengan sendirinya menurut hukum:

1) haknya untuk mengajukan kasasi gugur

2) terdakwa dianggap menerima putusan

3) untuk itu panitera membuat akta penerimaan putusan

Dalam hal akta penerimaan putusan petunjuk pelaksanaannya:

i) akta penerimaan putusan ditandatangani oleh panitera

ii) diketahui dan ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Negeri

iii) kemudian akta penerimaan putusan dilekatkan pada berkas perkara

Alasan kasasi yang diperkenankan atau yang dapat dibenarkan Pasal 253 ayat(1) terdiri dari:

  1. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya
  2. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang
  3. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya

Ada alasan kasasi yang tidak dibenarkan undang-undang yaitu:

  1. keberatan kasasi Putusan Pengadilan Tinggi menguatkan putusan Pengadilan Negeri
  2. keberatan atas penilaian pembuktian
  3. alasan kasasi yang bersifat pengulangan fakta
  4. alasan yang tidak menyangkut persoalan perkara
  5. berat ringannya hukuman atau besar kecilnya jumlah denda
  6. keberatan kasasi atas pengembalian barang bukti
  7. keberatan kasasi mengenai novum

Dalam Pasal 254 KUHAP, bentuk putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi hanya terdiri dari

    1. menolak permohonan kasasi, atau
    2. mengabulkan permohonan kasasi

law on society

Sosiologi Hukum

Sejak dilahirkan, manusia telah dilengkapi dengan naluri untuk senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri hidup bersama orang lain, antara lain mengakibatkan hasrat yang kuat untuk hidup teratur. Namun apa yang teratur bagi seseorang belum tentu teratur bagi orang lain. Perbedaan keadaan tersebut harus dicegah untuk mempertahankan integrasi dan integritas masyarakat.

Kebutuhan akan pedoman-pedoman perilaku yang akan dapat memberikan pegangan bagi manusia antara lain menimbulkan kaidah atau norma. Norma atau kaidah tersebut dari sudut hakekatnya merupakan suatu pandangan menilai terhadap perilaku manusia. Dengan demikian, maka suatu norma atau kaedah merupakan patokan-patokan mengenai perilaku yang dianggap pantas. Walaupun pada hakekatnya kebutuhan berasal dari masyarakat, akan tetapi sebagai pandangan menilai, norma atau kaedah merupakan suatu hasil pemikiran normatif dan juga filosofis.

Suatu norma atau kaedah, apabila dipandang dari sudut lain, juga merupakan hasil abstraksi dari pola perilaku. Apabila secara empiris suatu perilaku dulang-ulang dalam bentuk yang sama, maka perilaku tersebut menjadi suatu pola perilaku. Kalau pola perilaku tersebut dianggap akan dapat mencapai suatu taraf keimanan tertentu, taraf hati nurani yang bersih, kesedapan dalam pergaulan hidup dan kedamaian, maka pola perilaku tersebut menjadi norma. Proses tersebut merupakan suatu pandangan sosiologis, yang telah lebih menekankan pada kuantita perilaku yang terwujud secara empiris.

Perlu dibedakan antara terjadinya pola perilaku dengan proses terjadinya norma atau kaedah. Apabila dilihat dari sudut proses terjadinya pola perilaku(hukum), maka gejala atau peristiwa itu lebih banyak dipelajari oleh sosiologi hukum sebagai spesialisasi dari sosiologi. Proses terjadinya norma atau kaedah(hukum) dari pola perilaku tertentu, lebih banyak dipelajari oleh sosiologi hukum sebagai bagian dari ilmu kenyataan yang merupakan cabang dari pada ilmu-ilmu hukum.

DISIPIL HUKUM DAN SOSIOLOGI HUKUM

Suatu disiplin merupakan sistim ajaran mengenai kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi, pada umumnya dibedakan antara disiplin analitis dan preskriptif. Disiplin analitis merupakan sistim ajaran yang menganalisa, memahami serta menjelaskan gejala yang dihadapi(atau kenyataan), misalnya sosiologi, psikologi. Sedangkan disiplin preskriptif merupakan sistim ajaran yang menentukan apakah yang seyogianya atau yang seharusnya dilakukan dalam menghadapi kenyataan, misalnya filsafat, hukum.

Disiplin hukum yang merupakan disiplin preskriptif, mencakup:

1. Ilmu-ilmu hukum, yakni:

    1. Ilmu tentang kaedah yang menelaah hukum sebagai kaedah atau sistim kaedah-kaedah dengan dogmatik dan sistematik hukum
    2. Ilmu pengertian, yakni ilmu tentang pengertian-pengertian dasar dari sistim hukum sebagai subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan obyek hukum.
    3. Ilmu tentang kenyataan yang menyoroti hukum sebagai perangkat sikap tindak atau perikelakuan, yang terdiri dari:

1. Sosiologi hukum, yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara alalitis dan empiris mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya.

2. Antropologi hukum, yang terutama mempelajari pola-pola sengketa dan penyelesaiannya pada masyarakat sederhana, maupun masyarakat-masyarakat yang sedang mengalami proses modernisasi

3. Psikologi hukum, yakni suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari pada jiwa manusia.

4. Perbandingan hukum yang memperbandingkan sistim-sistim hukum yang berlaku didalam satu atau beberapa masyarakat.

5. Sejarah hukum yang mempelajari perkembangan dan asal usul daripada sistim hukum dalam suatu masyarakat tertentu

  1. Politik hukum yang mencakup kegiatan memilih nilai-nilai dan menterapkan nilai-nilai tersebut.

3. Filsafat hukum yang mencakup kegiatan perenungan nilai-nilai, perumusan nilai-nilai, penyerasian nilai-nilai-nilai yang berpasangan tetapi kadangkala bersitegang.

Dari sistematika diatas kiranya menjadi jelas bagaimana kaitan sosiologi hukum dengan ilmu-ilmu hukm lainnya, maupun dengan filsafat hukum. Hal ini antara lain disebabkan karena hukum mempunyai tiga dimensi, yakni sebagai nilai, kaedah dan perikelakuan.

SEJARAH PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN

SOSIOLOGI HUKUM

Dari sudut sejarah, istilah sosiologi hukum untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Anzilotti orang Italia tahun 1882. Dari sudut perkembangannya terbentuknya ilmu tersebut dapat dinyatakan bahwa sosiologi hukum pada hakekatnya lahir dari hasil-hasil pemikiran para ahli pemikir baik dari bidang filsafat hukum, ilmu hukum maupun sosiologi. Hasil-hasil pemikiran tersebut mewakili kelompok-kelompok disiplin filsafat, ilmu hukum maupun disiplin nomotetis. Oleh karena itu, sosiologi hukum merupakan refleksi dari inti pemikiran disiplin-disiplin tersebut,

Ada beberapa aliran/mazhab yang memberi faktor-faktor penting dalam perkembangan sosiologi hukum misalnya:

1. Aliran hukum alam( Aristoteles, Aquinas, Grotis)

a. Hukum dan moral

b. Kepastian hukum dan keadilan yang dianggap sebagai tujuan dan syarat utama dari hukum

2. Mazhab Formalisme

a. Logika hukum

b. Fungsi keajegan dari hukum

c. Peranan formil dari penegak/petugas/pejabat hukum

3. Mazhab kebudayaan dan sejarah ( Van Savigni, Maine)

a. Kerangka kebudayaan dari hukum; hubungan antara hukum dengan sistim nilai-nilai

b. Hukum dan perubahan –perubahan sosial

4. Aliran Utilitarianism dan Sociological Jurisprudence

( Bentham, Ihering, Ehrlich dan Pound)

a. Konsekwensi-konswkonsi sosial dari hukum

b. Penggunaan yang tidak wajar dari pembentukan undang-undang

c. Klasifikasi tujuan dan kepentingan warga dan masyarakat, serta tujuan-tujuan sosial

5. Aliran Sociological Jurisprudence dan Legal Realism

( Ehrlich, Pound, Holmes Llewellyn, Frank)

a. Hukum sebagai mekanisme pengendalian sosial

b. Faktor politik dan kepentingan dalam hukum

c. Stratifikasi sosial dan hukum

d. Hubungan antara hukum tertulis/ resmi dengan kenyataan hukum/ hukum yang hidup

e. Hukum dan kebijaksanaan umum

f. Segi perikemanusiaan dari hukum

g. Studi tentang keputusan pengadilan dan pola perikelakuan (hakim)

Semenjak Anzilotti mengemukakan istilah sosiologi hukum, timbul aneka macam argumen, yang biasanya berkisar pada ruang lingkup sosiologi hukum dan perspektifnya dibidang penelitian. Sosiologi hukum sebenarnya merupakan ilmu tentang kenyataan hukum, yang ruang lingkupnya adalah:

1.Dasar sosial dari hukum, atas dasar anggapan bahwa hukum timbul serta tumbuh dari proses-proses sosial lainnya (the genetic sociology of law)

2.Efek hukum terhadap gejala-gejala sosial lainnya dalam masyarakat (the operational sociology of law)

Apabila yang dipersoalkan adalah perspektif penelitiannya, maka dibedakan antara:

1. Sosiologi hukum teoritis yang bertujuan untuk menghasilkan generalisasi/abstraksi setelah pengumpulan data, pemeriksaan terhadap keteraturan-keteraturan sosial dan pengembangan hipotesa-hipotesa

2. Sosiologi hukum empiris yang bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa dengan cara mempergunakan atau mengolah data yang dihimpun didalam keadaan yang dikendalikan secara sistematis dan metodologis.

Pembedaan tersebut masih tetap dipermasalahkan eksistensinya antara pendukung-pendukung mazhab sosiologi neo-positivis atau analitis dengan pendukung-pendukung mazhab sosiologi dialektis atau kritis.. Pihak pertama beranggapan bahwa sosiologi merupakan sarana ilmiah untuk menjelaskan gejala sosial. Sebaliknya, pihak kedua tidak berhenti disitu saja, akan tetapi dianggapnya bahwa tugas seterusnya adalah untuk mengadakan evaluasi terhadap gejala sosial yang diteliti. Evaluasi atau kritik tersebut tak dapat diuji secara empiris karena didasarkan pada sifat hakekat manusia dan masyarakat. Bagi mereka analisa data empiris baru merupakan tahap awal, dari kegiatan untuk menyusun teori.

Dari uraian tersebut diperoleh kesimpulan, bahwa didalam kerangka akademis, maka penyajian sosiologi hukum dimaksudkan sebagai suatu usaha untuk memungkinkan pembentukan teori hukum yang bersifat sosiologi(sociologische rechtstheorieen). Artinya, suatu usaha untuk merelatifkan dogmatik hukum menurut jalan fikiran yuridis-tradisional.

SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI HUKUM

A. Pengaruh dari filsafat hukum

Filsafat hukum, dalam hal ini para ahli filsafat hukum, sebenarnya merupakan pembuka jalan terbentuknya dan perkembangan selanjutnya dari sosiologi hukum.Tokohnya antara lain Pound, Cardozo, Holmes (Sociological jurisprudence),Ehrlich(teori Lebende Recht), Lundstedt, Olivecrone, dan Hagerstrom(aliran Realisme). Pengaruh yang khas dari filsafat hukum terlihat jelas pada kegiatan untuk menetralisasikan atau merelatifkan dogmatik hukum, oleh karena tekanan lebih banyak diletakkan pada beraksinya atau berprosesnya hukum(law in action). Pound mengemukakan ideenya tentang hukum sebagai sarana untuk mengarahkan dan membina masyarakat. Untuk memenuhi fungsinya tersebut, maka sorotan yang terlalu besar pada aspek statis dari hukum harus ditinggalkan.

B. Ilmu hukum : Hans Kelsen

Kelsen terkenal dengan ajarannya yang dinamakan Ajaran Murni tentang hukum (The Pure Theory of Law), dimana Kelsen mengakui bahwa hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor politisi sosiologi, filosofis, dan seterusnya. Yang diingininya adalah suatu teori yang murni tentang hukum yang murni tentang hukum yang dibersihkan dari segala faktor yang mempengaruhinya. Oleh karena itu Kelsen hanya mau melihat hukum sebagai kaedah; hukum sebagai perikelakuan yang ajeg merupakan objek sosiologi hukum yang baginya bukan merupakan ilmu hukum.

Menurut Kelsen setiap data hukum merupakan susunan daripada kaedah-kaedah (stufenbau). Dipuncak stufenbau tersebut terdapat grundnorm atau kaedah dasar dari suatu tata kaedah hukum nasional yang bukan merupakan suatu kaedah hukum positif yang dibentuk oleh suatu tindakan legislatif manapun, akan tetapi hanyalah merupakan hasil analisa pemikiran yuridis.

Teori stufenbau dari Kelsen berisikan hal-hal sebagai berikut:

1. Suatu tata kaedah hukum merupakan sistim kaedah-kaedah hukum secara hierarkis

2. Susunan kaedah-kaedah hukum yang sangat disederhanakan dari tingkat terbawah keatas, adalah:

a. Kaedah-kaedah individuil dari badan-badan pelaksana hukum terutama pengadilan

b. Kaedah-kaedah umum didalam undang-undang atau hukum kebiasaan

c. Kaedah-kaedah daripada konstitusi

Ketiga macam kaedah tersebut merupakan kaedah-kaedah hukum positif; diatas konstitusi adalah tempatnya kaedah dasar(hipotetis) yang lebih tinggi dan bukan merupakan kaedah hukum positif, akan tetapi merupakan kaedah yang dihasilkan oleh pemikiran yuridis.

3.Sahnya kaedah hukum dari golongan tingkat yang lebih rendah tergantung atau ditentukan oleh kaedah-kaedah yang termasuk golongan tingkat yang lebih tinggi.

Salah satu faktor yang mempengaruhi sosiologi hukum adalah bahwa perbedaan hukum dengan kebiasaan (belaka) terletak pada unsur kekuasaan resmi yang dapat memaksakan berlakunya hukum tersebut. Selain daripada itu, hingga kini ada kecendrungan kuat dalam penterapan hukum, untuk mempertahankan prinsip dan pola yang telah ada dalam sistim hukum.

C. Sosiologi : pengaruh ajaran-ajaran Durkheim dan Weber

Didalam menguraikan teori-teorinya tentang masyarakat, Durkheim menaruh perhatian yang besar terhadap kaedah hukum yang dihubungkannya sebagai jenis-jenis solidaritas dalam masyarakat. Hukum dirumuskannya sebagai kaedah yang bersanksi, dimana berat-ringannya sanksi tergantung pada:

a. sifat pelanggaran

b. anggapan serta keyakinan masyarakat tentang baik-buruknya perikelakuan-perikelakuan tertentu

c. peranan sanksi tersebut dalam masyarakat.

Sejalan dengan itu, maka kedah hukum diklasifikasikan menjadi kaedah hukum repressif dan restitutif.

Menurut Durkheim, maka setiap kaedah hukum mempunyai tujuan berganda, yakni :

a. menetapkan dan merumuskan kewajiban-kewajiban

b. menerapkan dan merumuskan sanksi-sanksi

Teori Durkheim terutama mengetengahkan hal-hal sebagai berikut:

1.Hukum merupakan gejala yang tergantung pada struktur sosial suatu masyarakat

2.Hukum merupakan sarana untuk mempertahankan keutuhan masyarakat, maupun untuk menentukan adanya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat

Dari ajaran-ajaran yang luas dari Max Weber, maka yang menarik adalah tipe-tipe ideal dari hukum yang sekaligus menunjukkan suatu perkembangan, yaitu:

1. Hukum irrasional dan materiel, dimana pembentuk undang-undang dan hakim mendasarkan keputusan-keputusannya semata-mata pada nilai-nilai emosional tanpa mengacu pada suatu kaedah hukum

2. Hukum irrasional dan formil, dimana pembentuk undang-undang dan hakim berpedoman pada kaedah-kaedah yang didasarkan pada wahyu dan ramalan-ramalan

3. Hukum rasional dan materiel, dimana keputusan para pembentuk undang-undang dan hakim didasarkan pada kitab suci, ideologi dan kebijaksanaan penguasa

4. Hukum rasional dan formil, dimana hukum dibentuk atas dasar konsep-konsep dari ilmu hukum.