Sosiologi Hukum
Sejak dilahirkan, manusia telah dilengkapi dengan naluri untuk senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri hidup bersama orang lain, antara lain mengakibatkan hasrat yang kuat untuk hidup teratur. Namun apa yang teratur bagi seseorang belum tentu teratur bagi orang lain. Perbedaan keadaan tersebut harus dicegah untuk mempertahankan integrasi dan integritas masyarakat.
Kebutuhan akan pedoman-pedoman perilaku yang akan dapat memberikan pegangan bagi manusia antara lain menimbulkan kaidah atau norma. Norma atau kaidah tersebut dari sudut hakekatnya merupakan suatu pandangan menilai terhadap perilaku manusia. Dengan demikian, maka suatu norma atau kaedah merupakan patokan-patokan mengenai perilaku yang dianggap pantas. Walaupun pada hakekatnya kebutuhan berasal dari masyarakat, akan tetapi sebagai pandangan menilai, norma atau kaedah merupakan suatu hasil pemikiran normatif dan juga filosofis.
Suatu norma atau kaedah, apabila dipandang dari sudut lain, juga merupakan hasil abstraksi dari pola perilaku. Apabila secara empiris suatu perilaku dulang-ulang dalam bentuk yang sama, maka perilaku tersebut menjadi suatu pola perilaku. Kalau pola perilaku tersebut dianggap akan dapat mencapai suatu taraf keimanan tertentu, taraf hati nurani yang bersih, kesedapan dalam pergaulan hidup dan kedamaian, maka pola perilaku tersebut menjadi norma. Proses tersebut merupakan suatu pandangan sosiologis, yang telah lebih menekankan pada kuantita perilaku yang terwujud secara empiris.
Perlu dibedakan antara terjadinya pola perilaku dengan proses terjadinya norma atau kaedah. Apabila dilihat dari sudut proses terjadinya pola perilaku(hukum), maka gejala atau peristiwa itu lebih banyak dipelajari oleh sosiologi hukum sebagai spesialisasi dari sosiologi. Proses terjadinya norma atau kaedah(hukum) dari pola perilaku tertentu, lebih banyak dipelajari oleh sosiologi hukum sebagai bagian dari ilmu kenyataan yang merupakan cabang dari pada ilmu-ilmu hukum.
DISIPIL HUKUM DAN SOSIOLOGI HUKUM
Suatu disiplin merupakan sistim ajaran mengenai kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi, pada umumnya dibedakan antara disiplin analitis dan preskriptif. Disiplin analitis merupakan sistim ajaran yang menganalisa, memahami serta menjelaskan gejala yang dihadapi(atau kenyataan), misalnya sosiologi, psikologi. Sedangkan disiplin preskriptif merupakan sistim ajaran yang menentukan apakah yang seyogianya atau yang seharusnya dilakukan dalam menghadapi kenyataan, misalnya filsafat, hukum.
Disiplin hukum yang merupakan disiplin preskriptif, mencakup:
1. Ilmu-ilmu hukum, yakni:
- Ilmu tentang kaedah yang menelaah hukum sebagai kaedah atau sistim kaedah-kaedah dengan dogmatik dan sistematik hukum
- Ilmu pengertian, yakni ilmu tentang pengertian-pengertian dasar dari sistim hukum sebagai subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan obyek hukum.
- Ilmu tentang kenyataan yang menyoroti hukum sebagai perangkat sikap tindak atau perikelakuan, yang terdiri dari:
1. Sosiologi hukum, yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara alalitis dan empiris mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya.
2. Antropologi hukum, yang terutama mempelajari pola-pola sengketa dan penyelesaiannya pada masyarakat sederhana, maupun masyarakat-masyarakat yang sedang mengalami proses modernisasi
3. Psikologi hukum, yakni suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari pada jiwa manusia.
4. Perbandingan hukum yang memperbandingkan sistim-sistim hukum yang berlaku didalam satu atau beberapa masyarakat.
5. Sejarah hukum yang mempelajari perkembangan dan asal usul daripada sistim hukum dalam suatu masyarakat tertentu
- Politik hukum yang mencakup kegiatan memilih nilai-nilai dan menterapkan nilai-nilai tersebut.
3. Filsafat hukum yang mencakup kegiatan perenungan nilai-nilai, perumusan nilai-nilai, penyerasian nilai-nilai-nilai yang berpasangan tetapi kadangkala bersitegang.
Dari sistematika diatas kiranya menjadi jelas bagaimana kaitan sosiologi hukum dengan ilmu-ilmu hukm lainnya, maupun dengan filsafat hukum. Hal ini antara lain disebabkan karena hukum mempunyai tiga dimensi, yakni sebagai nilai, kaedah dan perikelakuan.
SEJARAH PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN
SOSIOLOGI HUKUM
Dari sudut sejarah, istilah sosiologi hukum untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Anzilotti orang Italia tahun 1882. Dari sudut perkembangannya terbentuknya ilmu tersebut dapat dinyatakan bahwa sosiologi hukum pada hakekatnya lahir dari hasil-hasil pemikiran para ahli pemikir baik dari bidang filsafat hukum, ilmu hukum maupun sosiologi. Hasil-hasil pemikiran tersebut mewakili kelompok-kelompok disiplin filsafat, ilmu hukum maupun disiplin nomotetis. Oleh karena itu, sosiologi hukum merupakan refleksi dari inti pemikiran disiplin-disiplin tersebut,
Ada beberapa aliran/mazhab yang memberi faktor-faktor penting dalam perkembangan sosiologi hukum misalnya:
1. Aliran hukum alam( Aristoteles, Aquinas, Grotis)
a. Hukum dan moral
b. Kepastian hukum dan keadilan yang dianggap sebagai tujuan dan syarat utama dari hukum
2. Mazhab Formalisme
a. Logika hukum
b. Fungsi keajegan dari hukum
c. Peranan formil dari penegak/petugas/pejabat hukum
3. Mazhab kebudayaan dan sejarah ( Van Savigni, Maine)
a. Kerangka kebudayaan dari hukum; hubungan antara hukum dengan sistim nilai-nilai
b. Hukum dan perubahan –perubahan sosial
4. Aliran Utilitarianism dan Sociological Jurisprudence
( Bentham, Ihering, Ehrlich dan Pound)
a. Konsekwensi-konswkonsi sosial dari hukum
b. Penggunaan yang tidak wajar dari pembentukan undang-undang
c. Klasifikasi tujuan dan kepentingan warga dan masyarakat, serta tujuan-tujuan sosial
5. Aliran Sociological Jurisprudence dan Legal Realism
( Ehrlich, Pound, Holmes Llewellyn, Frank)
a. Hukum sebagai mekanisme pengendalian sosial
b. Faktor politik dan kepentingan dalam hukum
c. Stratifikasi sosial dan hukum
d. Hubungan antara hukum tertulis/ resmi dengan kenyataan hukum/ hukum yang hidup
e. Hukum dan kebijaksanaan umum
f. Segi perikemanusiaan dari hukum
g. Studi tentang keputusan pengadilan dan pola perikelakuan (hakim)
Semenjak Anzilotti mengemukakan istilah sosiologi hukum, timbul aneka macam argumen, yang biasanya berkisar pada ruang lingkup sosiologi hukum dan perspektifnya dibidang penelitian. Sosiologi hukum sebenarnya merupakan ilmu tentang kenyataan hukum, yang ruang lingkupnya adalah:
1.Dasar sosial dari hukum, atas dasar anggapan bahwa hukum timbul serta tumbuh dari proses-proses sosial lainnya (the genetic sociology of law)
2.Efek hukum terhadap gejala-gejala sosial lainnya dalam masyarakat (the operational sociology of law)
Apabila yang dipersoalkan adalah perspektif penelitiannya, maka dibedakan antara:
1. Sosiologi hukum teoritis yang bertujuan untuk menghasilkan generalisasi/abstraksi setelah pengumpulan data, pemeriksaan terhadap keteraturan-keteraturan sosial dan pengembangan hipotesa-hipotesa
2. Sosiologi hukum empiris yang bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa dengan cara mempergunakan atau mengolah data yang dihimpun didalam keadaan yang dikendalikan secara sistematis dan metodologis.
Pembedaan tersebut masih tetap dipermasalahkan eksistensinya antara pendukung-pendukung mazhab sosiologi neo-positivis atau analitis dengan pendukung-pendukung mazhab sosiologi dialektis atau kritis.. Pihak pertama beranggapan bahwa sosiologi merupakan sarana ilmiah untuk menjelaskan gejala sosial. Sebaliknya, pihak kedua tidak berhenti disitu saja, akan tetapi dianggapnya bahwa tugas seterusnya adalah untuk mengadakan evaluasi terhadap gejala sosial yang diteliti. Evaluasi atau kritik tersebut tak dapat diuji secara empiris karena didasarkan pada sifat hakekat manusia dan masyarakat. Bagi mereka analisa data empiris baru merupakan tahap awal, dari kegiatan untuk menyusun teori.
Dari uraian tersebut diperoleh kesimpulan, bahwa didalam kerangka akademis, maka penyajian sosiologi hukum dimaksudkan sebagai suatu usaha untuk memungkinkan pembentukan teori hukum yang bersifat sosiologi(sociologische rechtstheorieen). Artinya, suatu usaha untuk merelatifkan dogmatik hukum menurut jalan fikiran yuridis-tradisional.
SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI HUKUM
A. Pengaruh dari filsafat hukum
Filsafat hukum, dalam hal ini para ahli filsafat hukum, sebenarnya merupakan pembuka jalan terbentuknya dan perkembangan selanjutnya dari sosiologi hukum.Tokohnya antara lain Pound, Cardozo, Holmes (Sociological jurisprudence),Ehrlich(teori Lebende Recht), Lundstedt, Olivecrone, dan Hagerstrom(aliran Realisme). Pengaruh yang khas dari filsafat hukum terlihat jelas pada kegiatan untuk menetralisasikan atau merelatifkan dogmatik hukum, oleh karena tekanan lebih banyak diletakkan pada beraksinya atau berprosesnya hukum(law in action). Pound mengemukakan ideenya tentang hukum sebagai sarana untuk mengarahkan dan membina masyarakat. Untuk memenuhi fungsinya tersebut, maka sorotan yang terlalu besar pada aspek statis dari hukum harus ditinggalkan.
B. Ilmu hukum : Hans Kelsen
Kelsen terkenal dengan ajarannya yang dinamakan Ajaran Murni tentang hukum (The Pure Theory of Law), dimana Kelsen mengakui bahwa hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor politisi sosiologi, filosofis, dan seterusnya. Yang diingininya adalah suatu teori yang murni tentang hukum yang murni tentang hukum yang dibersihkan dari segala faktor yang mempengaruhinya. Oleh karena itu Kelsen hanya mau melihat hukum sebagai kaedah; hukum sebagai perikelakuan yang ajeg merupakan objek sosiologi hukum yang baginya bukan merupakan ilmu hukum.
Menurut Kelsen setiap data hukum merupakan susunan daripada kaedah-kaedah (stufenbau). Dipuncak stufenbau tersebut terdapat grundnorm atau kaedah dasar dari suatu tata kaedah hukum nasional yang bukan merupakan suatu kaedah hukum positif yang dibentuk oleh suatu tindakan legislatif manapun, akan tetapi hanyalah merupakan hasil analisa pemikiran yuridis.
Teori stufenbau dari Kelsen berisikan hal-hal sebagai berikut:
1. Suatu tata kaedah hukum merupakan sistim kaedah-kaedah hukum secara hierarkis
2. Susunan kaedah-kaedah hukum yang sangat disederhanakan dari tingkat terbawah keatas, adalah:
a. Kaedah-kaedah individuil dari badan-badan pelaksana hukum terutama pengadilan
b. Kaedah-kaedah umum didalam undang-undang atau hukum kebiasaan
c. Kaedah-kaedah daripada konstitusi
Ketiga macam kaedah tersebut merupakan kaedah-kaedah hukum positif; diatas konstitusi adalah tempatnya kaedah dasar(hipotetis) yang lebih tinggi dan bukan merupakan kaedah hukum positif, akan tetapi merupakan kaedah yang dihasilkan oleh pemikiran yuridis.
3.Sahnya kaedah hukum dari golongan tingkat yang lebih rendah tergantung atau ditentukan oleh kaedah-kaedah yang termasuk golongan tingkat yang lebih tinggi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi sosiologi hukum adalah bahwa perbedaan hukum dengan kebiasaan (belaka) terletak pada unsur kekuasaan resmi yang dapat memaksakan berlakunya hukum tersebut. Selain daripada itu, hingga kini ada kecendrungan kuat dalam penterapan hukum, untuk mempertahankan prinsip dan pola yang telah ada dalam sistim hukum.
C. Sosiologi : pengaruh ajaran-ajaran Durkheim dan Weber
Didalam menguraikan teori-teorinya tentang masyarakat, Durkheim menaruh perhatian yang besar terhadap kaedah hukum yang dihubungkannya sebagai jenis-jenis solidaritas dalam masyarakat. Hukum dirumuskannya sebagai kaedah yang bersanksi, dimana berat-ringannya sanksi tergantung pada:
a. sifat pelanggaran
b. anggapan serta keyakinan masyarakat tentang baik-buruknya perikelakuan-perikelakuan tertentu
c. peranan sanksi tersebut dalam masyarakat.
Sejalan dengan itu, maka kedah hukum diklasifikasikan menjadi kaedah hukum repressif dan restitutif.
Menurut Durkheim, maka setiap kaedah hukum mempunyai tujuan berganda, yakni :
a. menetapkan dan merumuskan kewajiban-kewajiban
b. menerapkan dan merumuskan sanksi-sanksi
Teori Durkheim terutama mengetengahkan hal-hal sebagai berikut:
1.Hukum merupakan gejala yang tergantung pada struktur sosial suatu masyarakat
2.Hukum merupakan sarana untuk mempertahankan keutuhan masyarakat, maupun untuk menentukan adanya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat
Dari ajaran-ajaran yang luas dari Max Weber, maka yang menarik adalah tipe-tipe ideal dari hukum yang sekaligus menunjukkan suatu perkembangan, yaitu:
1. Hukum irrasional dan materiel, dimana pembentuk undang-undang dan hakim mendasarkan keputusan-keputusannya semata-mata pada nilai-nilai emosional tanpa mengacu pada suatu kaedah hukum
2. Hukum irrasional dan formil, dimana pembentuk undang-undang dan hakim berpedoman pada kaedah-kaedah yang didasarkan pada wahyu dan ramalan-ramalan
3. Hukum rasional dan materiel, dimana keputusan para pembentuk undang-undang dan hakim didasarkan pada kitab suci, ideologi dan kebijaksanaan penguasa
4. Hukum rasional dan formil, dimana hukum dibentuk atas dasar konsep-konsep dari ilmu hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar